Kementerian Perindustrian sedang menyusun aturan mengenai standar proses produksi yang baik atau good manufacturing practice (GMP) untuk produk ban vulkanisir. Upaya strategis ini dinilai penting untuk menjaga kelangsungan industri ban vulkanisir di dalam negeri sekaligus memastikan bahwa produk tersebut aman digunakan bagi konsumen.
“Maka itu, kami akan berlakukan Standar Nasional Indonesia (SNI) secara wajib untuk ban vulkanisir,” kata Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Industri (BPPI) Kemenperin, Ngakan Timur Antara di Jakarta, Minggu (28/7).
Menurut Ngakan, penerapan SNI wajib tersebut merupakan bagian dari Program Nasional Regulasi Teknis (PNRT) tahun 2018-2019, yang menyatakan SNI 3768-2013 (vulkanisir ban mobil penumpang dan komersial) termasuk salah satu dari 57 SNI yang akan diberlakukan secara wajib. SNI ini berisikan SNI 0098:2012 (ban mobil penumpang), SNI 0099:2012 (ban truk dan bus), SNI 0100:2012 (ban truk ringan) serta SNI 0101:2012 (ban sepeda motor).
“Selama ini penerapan SNI ban vulkanisir masih bersifat sukarela. Kami meyakini, penerapan standar pada proses produksi ban vulkanisir dapat membantu kegiatan usaha yang sebagian besar adalah pelaku industri kecil dan tnenengah (IKM),” paparnya.
Guna menyosialisasikan rencana penerapan SNI wajib tersebut, Kemenperin melaksanakan bimbingan teknis (bimtek) industri ban vulkanisir yang diselenggarakan selama tiga hari, 24-26 Juli 2019. Kegiatan ini diikuti 20 pelaku industri ban vulkanisir dari wilayah Yogyakarta, Jawa Tengah, dan Jawa Timur.
“Bimtek digelar di Balai Besar Kulit, Karet dan Plastik (BBKKP) Yogyakarta. Peserta juga kami perkenalkan dengan beberapa hasil inovasi dari balai di bawah BPPI tersebut,” tutur Ngakan.
Kepala BPPI melihat peluang bisnis industri ban vulkanisir di dalam negeri masih prospektif. Hal ini karena produk tersebut masih banyak digunakan pada kendaraan komersial seperti mobil penumpang, truk dan bus. Apalagi harga yang lebih murah menjadi daya tarik bagi pembeli untuk memilih ban vulkanisir.
“Sebab itu, quality control perlu diperhatikan dalam proses vulkanisir ban, sehingga kualitasnya terjaga untuk melindungi kesehatan dan keselamatan pengguna,” imbuhnya.
Dalam kesempatan terpisah, Kepala BBKKP Agus Kuntoro menambahkan, bimtek tersebut juga bentuk upaya komitmen Kemenperin terhadap isu limbah ban bekas. “Usaha vulkanisir tidak hanya menjawab permasalahan lingkungan terkait ban bekas, namun juga menggerakkan ekonomi masyarakat kecil, karena sebagian besar usaha ini ditekuni oleh Industri Kecil dan Menengah (IKM),” terangnya.
Selain sosialisasi, BPPI juga terus melakukan penelitian dan pengembangan terkait ban vulkanisir tersebut. Hal ini diungkapkan Kepala Baristand Industri Palembang Syamdian. “Baristand Palembang telah melakukan litbang vulkanisir untuk sepeda motor dan mobil penumpang melalui proses mastikasi, vulaknisasi dan pencetakan,” paparnya.
Saat ini, Baristand Palembang juga melakukan litbang tentang perekat dan pengembangan kompon, yang nantinya mutu ban vulkanisir ini sesuai dengan standard yang berlaku.
Di sisi lain, merujuk data Asosiasi Produsen Ban Indonesia (APBI), industri ban vulkanisir di Tanah Air mampu memberikan kontribusi signfikan terhadap perekonomian nasional hingga Rp36,3 miliar per tahun. Berikutnya, produksi ban vulkanisir pada tahun 2017 mencapai 20,48 juta unit atau meningkat 2,95% dari produksi 2016 sebanyak 19,9 juta unit. Adapun, produksi 2016 naik 4,97% dibanding produksi di 2015 sebanyak 18.956 juta unit.
Industri vulkanisir ban dalam negeri memiliki utilitas sebesar 80%. Di Indonesia, sebanyak 258 perusahaan vulkanisir telah terdaftar di Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM). “Usaha vulkanisir juga bisa menjawab permasalahan lingkungan terkait ban bekas,” tutur Sekjen Asosiasi Pabrik Vulkanisir Ban Indonesia (Apvubindo) Ahmad Gunawan.
Menurut Ahmad, industri ban vulkanisir menjadi penyerap karet terbesar kedua setelah industri ban baru. “Industri ban vulkanisir menyerap sekitar 90.000 ton karet per tahun, sedangkan ban baru sekitar 120.000 ton,” ungkapnya.
Demikian Siaran Pers ini untuk disebarluaskan.
1 komentar:
Quality control needs to be considered in the process of retreading tires, so that the quality is maintained to protect the health and safety of users.
Reply